0
0
2
Instrumen ini dimainkan oleh masyarakat suku Kaili—suku asli di Sulawesi Tengah. Selain di Sulawesi Tengah, instrument ini dapat pula ditemukan di Sulawesi Utara (Bolaang Mongondow), Kalimantan, Sumatra, Maluku, Sabah dan Serawak Malaysia dan Brunai Darussalam. Musik Kakula yang kita kenal sebagai salah satu seni musik tradisional suku Kaili khususnya dan masyarakat Sulawesi Tengah pada umumnya sudah sangat sukar menentukan kapan mulai dikenal oleh masyarakat di daerah ini.
Pada tahun 1618 agama Islam masuk di daerah ini dengan membawa serta pula kebudayaannya. Mengikuti penyebar-penyebar Islam ini sebagai alat pendukung dakwah, mereka membawa serta alat musik yang terbuat dari tembaga/kuningan yang sekarang ini kita kenal dengan Musik Kakula. Alat musik tersebut berbentuk bulat dan pada bagian tengalmya muncul atau munjung, sama dengan bonang di Pulau Jawa.
Sejarah Kehidupan Musik Kakula Namun jauh sebelum alat musik ini masuk, daerah ini sudah mengenal alat musik yang terbuat dari kayu yang pipih dengan panjang kira-kira 60 cm dan tebal 2 cm serta lebar 5 sampai 6 cm disesuaikan dengan nada. Alat musik tersebut juga sering mereka katakan sebagai gamba-gamba. Gamba-gamba kayu adalah salah satu bentuk embrio atau awal dari musik kakula karena nada yang ada pada musik kakula yang terbuat dari tembaga/kuningan persis dengan nada yang ada pada gamba-gamba atau Musik Kakula Kayu. Masyarakat Sulawesi Tengah yang kita kenal sebagai masyarakat agraris karena sebagian besar penduduk Sulawesi Tengah hidup dari pertanian. Masyarakat itulah pemilik Musik Kakula atau Gamba-gamba kayu tadi.
Perkembangan Musik Kakula Bapak Alm. Hasan M. Bahasyuan adalah seorang seniman musik kakula tradisi (pemain) disamping sebagai pemain musik juga sebagai pencipta tari. Setelah beberapa tarinya berhasil diiringi oleh seperangkat alat musik kakula yang masih pentatonis, terdiri dari tujuh buah kakula dengan nada masing-masing la, do, re, mi, sol, la, si, do, 6 1 2 3 5 6 7 1
1
Semuah Negara khususnya daerah-daerah mempunyai ciri khas dalam memainkan alat musik sehingga bayak khalayak rame menamakan musik etnik. Sehingga kami anak-anak muda ingin melestarikan budaya daerah dengan membentuk sebuah Sanggar Etnik yang bergerak dibidang seni terutama seni teater dan music etnik..
Pada tahun 2009 membentuk perkumpulan sebelum menjadi Sanggar bernama TSR (Teman Satu Rasa) dan kami hanya beranggotakan 6 (enam) orang dan kami hanya mementaskan teater pada taggal 17 Agustus 2009, setelah pementasan TSR Pakum dikarenakan bayak teman-teman telah menyelesaikan sekolahnya sehingga bayak yang keluar sehingga tinggal kami bertiga ( Eko, Mat dan Beby ) dan awal tahun 2010 kami merekrut teman-teman untuk latihan teater sehingga kami berjumlah 10 (sepuluh) orang.
Pada Bulan April 2010 kami mengisi Pegelaran Seni Budaya yang diadakan oleh Sanggar Valasama di Kelurahan Lasoani dimana kita hanya menampilkan pertunjukan teater dengan judul Sandro Nadoyo, selesai dari pementasan teater kami mengusulkan membentuk Sanggar agar kami selalu kumpul dan latihan, selain latihan teater kami juga berusaha berlatih musik etnik dan kami mengambil inisiatif mencari Pembina untuk membina kami sehingga kami mengusulkan sanggar kami dengan Ka Yudi (Yudi Rock) dan akhirnya pada tanggal 24 April 2010 kami mengadakan rapat pertama untuk pembentukan Sanggar serta mengusulkan ketua sanggar akhirnya Sanggar kami berubah nama menjadi Roa Sangu Rasa (RSR) dan menjadikan saudara Eko menjadi Ketua Sanggar dan rumah Ka Yudi menjadi sekretaria sekaligus tempat latihan kami hingga sekarang.
Dari Bula April hingga sekarang kami masih mengumpulkan alat-alat music dan membikin lagu, sehingga baru tercipta 5 (lima) lagu kami yang kami sering pentaskan dalam kegiatan budaya yaitu :
1.       RSR (Roa Sangu Rasa)
2.       Kamai Puramo
3.       Tadulako
4.       Kami-kami To Kaili
5.       Bunda

2
0
0